SOSIOLOGI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu : Suprihatiningsih, S.Ag M.Si
Ahmad Dini Faiza R (1501046029)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN
WALISONGO SEMARANG
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara yang memiliki nilai norma dan aturan-aturan hukum.
Masyarakatnya berpedoman pada norma dan aturan yang telah di tetapkan. Tetapi
masyarakatnya banyak yang melakukan perilaku menyimpang dari apa yang telah
disetujui oleh masyarakat. Hal ini membawa dampak tersendiri bagi dunia sosial,
yakni perilaku kolektif dan gerakan sosial.
Namun perlu dicermati pula, bahwa gerakan sosial tidak selalu tercermin
dengan hal-hal yang negative. Contoh dari perilaku kolektif yang positif yaitu;
bersama-sama menonton acara atau pertunjukkan seni. Dan untuk yang negative
biasa kita contohkan dengan demo yang massanya merusak sejumlah fasilitas umum,
seperti merusak mobil, merusak kantor dan sebagainya.
Perilaku inilah yang
memberikan konstribusi terbesar dalam seleksi keberadaan perilaku-perilaku
penyimpangan sosial. Indonesia merupakan negara yang memiliki norma dan
aturan-aturan hokum.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah yang dimaksud
perilaku kolektif?
2. Apakah yang dimaksud
dengan perilaku kerumunan?
3. Apakah yang dimaksud
dengan perilaku massa?
4. Apakah yang dimaksud
dengan gerakan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perilaku Kolektif
Para ahli sosiologi berbicara tentang “perilaku kolektif”,
namun tidak banyak yang bisa mendefinisikannya. Kalaupun mereka memberi
definisinya, definisi itu tidak ada manfaatnya. Definisi menurut Perry dan
Paugh, perilaku kolektif adalah pola-pola interaksi sosial, yang secara
kolektif tidak terorganisasi, dalam kelompok manusia. Definisi
tersebut memberi banyak jenis perilaku. Milgram dan Toch membatasi pengertian
perilaku kolektif yaitu sebagai suatu perilaku yang lahir secara spontan,
relatif tidak terorganisasi, dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses
sebelumnya tidak terencana, dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik
yang muncul di kalangan para pelakunya.[1]
Perilaku kolektif (Macionis, 1989:528) adalah tindakan,
pemikiran, dan perasaan-perasaan yang meliputi sejumlah besar orang dan yang
tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Sedangkan Horton dan Hunt
berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan
yang mendefinisikan kembali tindakan sosial.
Dari definisi-definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa perilaku kolektif adalah:
1.
Perilaku
yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang,
2.
Perilaku
yang bersifat spontanitas dan tidak terstruktur,
3.
Perilaku
yang tidak bersifat rutin, dan
4.
Perilaku
yang merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Faktor
penentu perilaku kolektif antara lain:
1. Structural Conducivenees
Perilaku
kolektif mula-mula diawali oleh faktor structural situasi sosial yang
menurutnya memudahkan terjadinya perilaku kolektif. Sebagian dari faktor ini
merupakan kekuatan alam yang berada diluar kekuasaan manusia, namun sebagian
merupakan faktor yang terkait dengn ada tidaknya peraturan melalui intuisi
sosial.
2. Structural Strain
Semakin
besar ketegangan structural maka semakin
besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjanagan, ketidak serasian
amtar kelompoksosial, etnik, agama, dll membuka peluang bagi terjadinya
berbagai bentuk ketegangan.
3. Menyebarkan Kepercayaan Umum
Merupakan
prasyarat berikutnya bagi terjadinya perilaku kolektif. Dalam masyarkat sering
beredar desas desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan
kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu, berkembang jadi
pengethuan umum yang dipercayai oleh khalayak.
4. Precipitating factors atau faktor
yang mendahului
Faktor
ini merupakan faktor penunjang kecurigaan dan keemasan yang dikandung
masyarakat. Desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak
memperoleh dukungan dan penegasan.
5. Mobilisasi para peserta
Perilaku
kolektif terwuwjud saat khalyakdimobilisasikan oleh pemimpinnya untuk
bertindak, baik untuk bergerak menjahui situasi berbahaya atau untuk mendekati
orang orang yang dianggap sasaran tindakan
6. Berlangsungya pengadilan sosial
Kekuatan
yang justru dapat mencegah atau menghambat akumulasi kelima faktor sebelumnya.
Contoh:
kehadiran aparat atau tokoh masyarakat bisa menggagalkan perilaku kolektif.
Umumnya ciri-ciri perilaku kolektif yaitu melibatkan
sejumlah orang yang melakukan tindakan yang mirip pada waktu yang bersamaan,
perilaku menyimpang tersebut bersifat sementara atau terus-menerus berubah,
tidak dalam kondisi yang stabil, dan terdapat semacam ketergantungan tertentu
diantara tindakan-tindakan tersebut, individu tidak bertindak secara bebas.[2]
Bentuk perilaku kolektif yang pertama adalah tindak
kenakalan. Suatu kelompok didominasi oleh orang-orang yang nakal. Mereka
melakukan hal yang berani atau begi mereka adalah tindakan yang keren walaupun
pada masyarakat hal tersebut adalah bodoh, tidak ada gunanya dan mengganggu.
Kedua, tindak kejahatan kelompok. Jenis perilaku ini bisa dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan terbuka, para pelakunya bisa bertindak sadis bahkan akan
melakukan pembunuhan untuk kepentingannya. Ketiga, tawuran. Seringnya tawuran
menimbulkan banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban.
Contoh lain meliputi penarikan uang di bank, kepanikan di
bioskop yang padat ketika alarm kebakaran berbunyi, jenis tren perilaku yang
kadang-kadang menyebar luas dikalangan anak-anak (seperti demam hula hoop atau
skateboard), nafsu yang berlebihan seperti spekulasi saham yang terjadi di
prancis terhadap Mississippi scheme john law, demonstrasi liar yang tidak
terorganisasi, kerusuhan, perilaku massa, merebaknya mode pakaian, dan kegilaan
beragama atau konversi (perubahan keyakinan) massa.[3]
B.
Perilaku
Kerumunan
Kerumunan
adalah kumpulan orang yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara
bersama terhadap suatu rangsangan. Para pelakunya umumnya tidak saling
mengenal, kebanyakan bentuk perilaku kerumunan tidak memiliki struktur, aturan,
perilaku kerumunan seringkali dinilai tidak rasional oleh orang yang tidak
setujuan. Namun terkadang terarah pada sasaran yang sifatnya cermat, ini bisa
juga dikatakan rasional meskipun tidak disetujui oleh beberapa orang. Perilaku
kerumunan bersifat spontan, dan sama sekali tidak dapat diprediksi, namun
bukanlah semata-mata bersifat kebetulan dan didasarkan pada dorongan hati saja.
Dalam
perilaku kerumunan terdapat beberapa teori:
1.
Teori
Penyebaran
Menurut Blumer yang dimaksud penyebaran sosial adalah penyebaran
suara hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rsaioanl, tanpa disasari dan
secara relative berlangsung cepat. Jadi, teori penyebaran menekan (bahkan
mungkin sangat menekan) aspek nonrasional dari perilaku kolektif[4].
Beberapa fakor yang menunjang penyebaran sosial, antar lain :
a.
Anonimitas.
Faktor berkumpulnya individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat
kekuatan luar biasa yang mampu melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab,
semakin tinggi kadar anonimitas, semakin besar pula kemungkinannya untuk
melakukan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualisme para
anggota kerumunan itu.
b.
Impersonalitas.
Bilamana suatu kelompok berinteraksi dengan kelompok lain, interaksi yang
terjadi tidak terlalu banyak memperhitungkan perasaan atau hubungan pribadi.
c.
Mudahnya
dipengaruhi. Karena situasi kerumunan biasanya tidak berstruktur, maka tidak
dikenal adanya pemimpin, atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota
kerumunan itu. Tanggun jawab pribadi berubah menjadi tanggung jawab kelompok,
sering kali situasi kerumunan itu tampak
membingungkan atau kacau balau, orang bertindak tidak kritis dan menerima saran
begitu saja, apalagi disampaikan dengan meyakinkan dan bersifat otoratif,
kerumunan bisa dikatakan memiliki sifat mudah dipengaruhi.
d.
Tekanan Jiwa
(Stress). Banyak bukti menunjukkan tekanan jiwa yang bersifat situasional
mendorong terjadinya penyebaran sosial (social contagion), orang yang mengalami
tekanan jiwa (kelelahan, ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, dsb) lebih
mudah mempercayai desas-desus, melibatkan diri dalam kericuhan, mengambil
bagian dalam kerusuhan, hysteria massal.
e.
Interactional
amplification.suatu proses dimana para anggota saling memberi rangsangan dan
respons satu sama lainnya, sehingga intensitas emosi dan ketanggapan
(responsivenes) mereka mengalami peningkatan.
2.
Teori
konvergensi
Dari teori ini, perilaku kerumunan asalnya muncul dari berkumpulnya
sejumlah orang yang memiliki kebutuhan, impuls (dorongan hati), dan sejumlah
orang yang tujuannya sama.
3.
Teori
Kemunculan Norma
Bentuk-bentuk
perilaku kerumunan:
1.
Hadirin
(Audience)
Hadirin merupakan suatu kerumunan yang perhatiannya terpusat pada
stimulus yang berasal dari luar. Contohnya rangsangan pada hadirin penonton
bioskop, pendengar radio, dan pemirsa televisi.
2.
Kerusuhan
merupakan tindakan agresif yang dilakukan secara keras. Kerusuhan
bisa berwujud kerusuhan antar bangsa, bisa saja bersifat agamis. Apapun
penyebabnya, perilaku kerumunan tetap sama saja. Suatu kelompok tidak disukai
karena kelompok itu berbeda, atau karena kelompok itu mudah dijadikan kambing
hitam. Mungkin juga kelompok itu dibenci karena keberhasilannya yang berlebihan
dalam kompetisi.
3.
Kepanikan
Kepanikan seringkali didefinisikan sebagai suatu kondisi emosi yang
diwarnai oleh keputusasaan dan ketakutan yang tidak terkendali.
C.
Perilaku Massa
Massa tidak sama dengan kerumunan.
Para penonton sepak bola adalah kerumunan. Orang-orang yang menyaksikan
pertandingan itu melalui televisi adalah massa. Hoult mendefinisikan massa
sebagai sejumlah orang yang relative berjumlah besar, tersebar dan tidak
dikenal (anonim), dan yang memberikan reaksi terhadap satu atau lebih
rangsangan, tetapi secara sendiri-sendiri tanpa saling memperhatikan satu sama
lain.
Perilaku massa adalah bentuk
perilaku massa tertentu yang dilakukan secara individual, yang tidak
terorganisasi, tidak terstuktur, dan tidak terkordinasi. Perbedaan dengan
perilaku kerumunan terletak pada kenyataan bahwa perilaku kerumunan jangka
waktunya singkat dan bersifat episodik, serta dilakukan oleh sejumlah orang sebagai
suatu kelompok. Sedangkan perilaku massa berjangka waktu lama dan tercipta dari
jumlah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh orang banyak.[5]
Massa memiliki anggota yang terpisah pisah, dan anggotanya tidak terjadi kontak
langsung yang berkesinambungan.
D.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku
kolektif. Gerakan sosial didenifisikan sebagai suatu kolektivitas yang
melakukan kegiatan untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam
masyarakat yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup
kolektivitas itu sendiri.[6]
Gerakan sosial pada mulanya muncul dari suatu kelompok yang tidak puas terhadap
keadaan, kelompok itu awalnya tidak terorganisasi dan terarah, serta tidak
memiliki rencana.
Macam-macam
teori gerakan sosial antara lain :
1.
Teori
Psikologi. Teori psikologi menunjukkan bahwa akar dari gerakan sosial terletak
pada kepribadian para pengikut gerakan sosial itu.
2.
Teori
Ketidakpuasan. Teori ini berpandangan bahwa akar dari gerakan terletak pada
perasaan ketidakpuasan. Orang yang merasa hidupnya nyaman dan puas kurang
menaruh perhatian terhadap gerakan sosial. Terdapat banyak ragam ketidakpuasan,
mulai dari luapan kemarahan orang-orang yang merasa dikorbankan oleh
ketidakadilan yang kejam sampai dengan kejengkelan terendah dari orang-orang
yang tidak menyukai perubahan sosial tertentu. Tanpa ada ketidakpuasan, gerakan
sosialpun tak akan tercipta.
3.
Teori
Ketidakmampuan Penyesuaian Diri Pribadi. Teori ini memandang gerakan sosial
sebagai tempat penyaluran kegagalan pribadi. Beberapa macam orang yang ikut
serta dalam gerakan sosial antara lain: orang yang merasa bosan, orang yang
merasa tidak cocok dengan keadaan, orang yang seharusnya kreatif tapi tidak mampu
berkreasi, orang dari golongan minoritas, orang yang merasa bersalah, orang
yang tingkat kehidupannya disebabkan satu hal lain. Orang orang seperti itu
mengisi kehampaan hidup mereka dengan melibatkan diri dalam kegiatan gerakan
sosial.
Orang yang merasa kecewa dan gagal lebih tertarik terhadap gerakan
sosial daripada orang yang puas dan senang. Orang-orang yang merasa bahwa
kehidupannya sudah nyaman dan memuaskan kurang memerlukan perasaan harga diri
dan keberhasilan karena mereka sudah memilikinya. Jadi orang yang dianggap
gerakan sosial adalah orang yang dipandang sebagai orang yang tidak cocok
dengan keadaan masyarakat.
4.
Teori Deprivasi
Relatif. Menurut konsep ini, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan
antara harapan dan dan kenyataan. Orang-orang miskin beranggapan bahwa
kemiskinan dan penyakit tidak diperlukan. Mereka mendambakan mobil, radio,
kulkas dan barang ,enarik lainnya.
Komponen-komponen yang harus ada dalam definisi gerakan sosial :
1.
Kolektifitas
orang yang bertindak bersama.
2.
Tujuan bersama
tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan
partisipan menurut cara yang sama
3.
Kolektifitasnya
relative tersebar, namun lebh rendah derajatnya dari pada organisasi formal
4.
Tindakannya
mempunyai derajat spontanitas relative tinggi, namun tak terlembaga dan
bentuknya tak konvensional.[7]
Faktor yang menyebabkan terjadinya
gerakan sosial adalah deprivasi ekonomi, yaitu orang yang melibatkan diri dalam
gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan dan
penderitaan), misalnya kenaikan harga-harga bahan kebutuan pokok. Disamping itu
ada juga karena faktor kenikmatan kemajuan ekonomi. Meskipun tingkat kepuasan
meningkat namun mungkn saja kesenjangan antara harapan masyarakat dengan
keadaan nyata yang dihadapi terjadi kesenjangan. Apabila kesenjangan itu
semakin melebar melewati batas toleransi seperti krisi ekonomi, maka revolusi
akan tercetus.[8]
Menurut giddens (1989 : 625)
membedakan empat tipe gerakan sosial :
1.
Alternative
movement, merupakan gerakan yang bertujuan merubah sebagian perilaku perorangan
seperti kampanye agar tidak merokok, hubungan seksual, dll.
2.
Redemptive
movement, yaiu gerakan untuk merubah pada perilaku perorangan khususnya dalam
bidang agama, seperti gerakan untuk tobat dan hidup sesuai dengan jalan agama
3.
Revormative
movement, yaitu gerakan untuk mengubah masyarakat dalam bidang-bdang tertentu,
seperti gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup
mereka, atau gerakan gender
4.
Transformative,
yaitu gerakan untuk merubah masyarajat secara keseluruhan, seperti gerakan
komunis untuk menciptakan kaum atau masyarakat komunis
5.
Revolusionary
movement, yaitu gerakan revolusi soial yang bertujuan untuk merubah institusi
dan stratifikasi masyarakat sebagai suatu transformasi menyeluruh tatanan
sosial termasuk institusi pemerintah.
Tahap-tahap
gerakan sosial menurut sosiolog W.E.
Gettys sebagai berikut :
1.
Tahap
kegelisahan, dalam tahap ini terjadi ketidakpuasan akibat pergolakan system
yangt kurang baik. Tahap ini bisa meluas dan berlansung selama beberapa tahun
2.
Tahap
kegusaran, setelah perhatian dipusatkan pada kondisi-kondisi yang menimbulkan
kegeisahan maka terhimpunlah sebuah kolektivitas. Kegelisahan yang muncul dalam
kolektivitas ini digerakkan oleh para pemimpin.
3.
Tahap formalisasi,
dalam tahap ini tidak tampak adanya struktur formal yang terorganisir yang
dilengkapi dengan hierarki petugas-petugas. Salah satu tugas penting adalah
menjelaskan ideology gerakan kepada anggota yang telah bersat. Sebab-sebab
terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi, dan sasaran-sasaran gerakan.
4.
Tahap
pelembagaan, jika gerajkan tersebut berhasil menarik banyak pengikut dan dapat
memenangkan dukungan public, akhirnya akan terjad pelembagaan. Selama tahap
ini, ditetapkan suatu brokrasi dan kepemimpinan yang professional yang disiplin
mengganti figure-figur kharismatik sebelumnya.[9]
[1]Paul B. Horton
dan C.hester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.167.
[2] James S.
Coleman, Dasar-dasar Teori Sosial, (Nusa Media, Bandung: 2011) hlm 272.
[3] James S.
Coleman, Dasar-dasar Teori Sosial, (Nusa Media, Bandung: 2011) hlm 272.
[4]Paul B. Horton
dan Chester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.169
[5] Paul B. Horton
dan Chester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.184.
[6]Ibid, hlm.195.
[7]
Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, Dasar-Dasar
Sosiologi, (Graha Ilmu : 2009), hlm. 156
[8]
Hlm. 157
[9]
Hlm. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar