Rabu, 14 Desember 2016

sosiologi

SOSIOLOGI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu : Suprihatiningsih, S.Ag M.Si


        
             
             
Ahmad Dini Faiza R      (1501046029)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN WALISONGO SEMARANG
2016





BAB I
PENDAHULUAN
  I.            LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara yang memiliki nilai norma dan aturan-aturan hukum. Masyarakatnya berpedoman pada norma dan aturan yang telah di tetapkan. Tetapi masyarakatnya banyak yang melakukan perilaku menyimpang dari apa yang telah disetujui oleh masyarakat. Hal ini membawa dampak tersendiri bagi dunia sosial, yakni perilaku kolektif dan gerakan sosial.
Namun perlu dicermati pula, bahwa gerakan sosial tidak selalu tercermin dengan hal-hal yang negative. Contoh dari perilaku kolektif yang positif yaitu; bersama-sama menonton acara atau pertunjukkan seni. Dan untuk yang negative biasa kita contohkan dengan demo yang massanya merusak sejumlah fasilitas umum, seperti merusak mobil, merusak kantor dan sebagainya.
            Perilaku inilah yang memberikan konstribusi terbesar dalam seleksi keberadaan perilaku-perilaku penyimpangan sosial. Indonesia merupakan negara yang memiliki norma dan aturan-aturan hokum.

II.             RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah yang dimaksud perilaku kolektif?
2.    Apakah yang dimaksud dengan perilaku kerumunan?
3.    Apakah yang dimaksud dengan perilaku massa?
4.    Apakah yang dimaksud dengan gerakan sosial?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perilaku Kolektif
Para ahli sosiologi berbicara tentang “perilaku kolektif”, namun tidak banyak yang bisa mendefinisikannya. Kalaupun mereka memberi definisinya, definisi itu tidak ada manfaatnya. Definisi menurut Perry dan Paugh, perilaku kolektif adalah pola-pola interaksi sosial, yang secara kolektif tidak terorganisasi, dalam kelompok manusia. Definisi tersebut memberi banyak jenis perilaku. Milgram dan Toch membatasi pengertian perilaku kolektif yaitu sebagai suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi, dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses sebelumnya tidak terencana, dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya.[1]
Perilaku kolektif (Macionis, 1989:528) adalah tindakan, pemikiran, dan perasaan-perasaan yang meliputi sejumlah besar orang dan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Sedangkan Horton dan Hunt berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kolektif adalah:
1.      Perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang,
2.      Perilaku yang bersifat spontanitas dan tidak terstruktur,
3.      Perilaku yang tidak bersifat rutin, dan
4.      Perilaku yang merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Faktor penentu perilaku kolektif antara lain:
1.      Structural Conducivenees
Perilaku kolektif mula-mula diawali oleh faktor structural situasi sosial yang menurutnya memudahkan terjadinya perilaku kolektif. Sebagian dari faktor ini merupakan kekuatan alam yang berada diluar kekuasaan manusia, namun sebagian merupakan faktor yang terkait dengn ada tidaknya peraturan melalui intuisi sosial.
2.      Structural Strain
Semakin besar ketegangan structural  maka semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Kesenjanagan, ketidak serasian amtar kelompoksosial, etnik, agama, dll membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan.
3.      Menyebarkan Kepercayaan Umum
Merupakan prasyarat berikutnya bagi terjadinya perilaku kolektif. Dalam masyarkat sering beredar desas desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga dalam situasi rancu, berkembang jadi pengethuan umum yang dipercayai oleh khalayak.
4.      Precipitating factors atau faktor yang mendahului
Faktor ini merupakan faktor penunjang kecurigaan dan keemasan yang dikandung masyarakat. Desas-desus dan isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan.
5.      Mobilisasi para peserta
Perilaku kolektif terwuwjud saat khalyakdimobilisasikan oleh pemimpinnya untuk bertindak, baik untuk bergerak menjahui situasi berbahaya atau untuk mendekati orang orang yang dianggap sasaran tindakan
6.      Berlangsungya pengadilan sosial
Kekuatan yang justru dapat mencegah atau menghambat akumulasi kelima faktor sebelumnya.
Contoh: kehadiran aparat atau tokoh masyarakat bisa menggagalkan perilaku kolektif.
Umumnya ciri-ciri perilaku kolektif yaitu melibatkan sejumlah orang yang melakukan tindakan yang mirip pada waktu yang bersamaan, perilaku menyimpang tersebut bersifat sementara atau terus-menerus berubah, tidak dalam kondisi yang stabil, dan terdapat semacam ketergantungan tertentu diantara tindakan-tindakan tersebut, individu tidak bertindak secara bebas.[2]
Bentuk perilaku kolektif yang pertama adalah tindak kenakalan. Suatu kelompok didominasi oleh orang-orang yang nakal. Mereka melakukan hal yang berani atau begi mereka adalah tindakan yang keren walaupun pada masyarakat hal tersebut adalah bodoh, tidak ada gunanya dan mengganggu. Kedua, tindak kejahatan kelompok. Jenis perilaku ini bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terbuka, para pelakunya bisa bertindak sadis bahkan akan melakukan pembunuhan untuk kepentingannya. Ketiga, tawuran. Seringnya tawuran menimbulkan banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban.
Contoh lain meliputi penarikan uang di bank, kepanikan di bioskop yang padat ketika alarm kebakaran berbunyi, jenis tren perilaku yang kadang-kadang menyebar luas dikalangan anak-anak (seperti demam hula hoop atau skateboard), nafsu yang berlebihan seperti spekulasi saham yang terjadi di prancis terhadap Mississippi scheme john law, demonstrasi liar yang tidak terorganisasi, kerusuhan, perilaku massa, merebaknya mode pakaian, dan kegilaan beragama atau konversi (perubahan keyakinan) massa.[3]


B.     Perilaku Kerumunan
Kerumunan adalah kumpulan orang yang bersifat sementara dan yang memberikan reaksi secara bersama terhadap suatu rangsangan. Para pelakunya umumnya tidak saling mengenal, kebanyakan bentuk perilaku kerumunan tidak memiliki struktur, aturan, perilaku kerumunan seringkali dinilai tidak rasional oleh orang yang tidak setujuan. Namun terkadang terarah pada sasaran yang sifatnya cermat, ini bisa juga dikatakan rasional meskipun tidak disetujui oleh beberapa orang. Perilaku kerumunan bersifat spontan, dan sama sekali tidak dapat diprediksi, namun bukanlah semata-mata bersifat kebetulan dan didasarkan pada dorongan hati saja.
Dalam perilaku kerumunan terdapat beberapa teori:
1.      Teori Penyebaran
Menurut Blumer yang dimaksud penyebaran sosial adalah penyebaran suara hati, perasaan atau suatu sikap, yang tidak rsaioanl, tanpa disasari dan secara relative berlangsung cepat. Jadi, teori penyebaran menekan (bahkan mungkin sangat menekan) aspek nonrasional dari perilaku kolektif[4]. Beberapa fakor yang menunjang penyebaran sosial, antar lain :
a.       Anonimitas. Faktor berkumpulnya individu yang semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mampu melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab, semakin tinggi kadar anonimitas, semakin besar pula kemungkinannya untuk melakukan tindakan ekstrim karena anonimitas mengikis rasa individualisme para anggota kerumunan itu.
b.      Impersonalitas. Bilamana suatu kelompok berinteraksi dengan kelompok lain, interaksi yang terjadi tidak terlalu banyak memperhitungkan perasaan atau hubungan pribadi.
c.       Mudahnya dipengaruhi. Karena situasi kerumunan biasanya tidak berstruktur, maka tidak dikenal adanya pemimpin, atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh para anggota kerumunan itu. Tanggun jawab pribadi berubah menjadi tanggung jawab kelompok, sering kali situasi kerumunan  itu tampak membingungkan atau kacau balau, orang bertindak tidak kritis dan menerima saran begitu saja, apalagi disampaikan dengan meyakinkan dan bersifat otoratif, kerumunan bisa dikatakan memiliki sifat mudah dipengaruhi.
d.      Tekanan Jiwa (Stress). Banyak bukti menunjukkan tekanan jiwa yang bersifat situasional mendorong terjadinya penyebaran sosial (social contagion), orang yang mengalami tekanan jiwa (kelelahan, ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, dsb) lebih mudah mempercayai desas-desus, melibatkan diri dalam kericuhan, mengambil bagian dalam kerusuhan, hysteria massal.
e.       Interactional amplification.suatu proses dimana para anggota saling memberi rangsangan dan respons satu sama lainnya, sehingga intensitas emosi dan ketanggapan (responsivenes) mereka mengalami peningkatan.
2.      Teori konvergensi
Dari teori ini, perilaku kerumunan asalnya muncul dari berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki kebutuhan, impuls (dorongan hati), dan sejumlah orang yang tujuannya sama.
3.      Teori Kemunculan Norma
Bentuk-bentuk perilaku kerumunan:
1.      Hadirin (Audience)
Hadirin merupakan suatu kerumunan yang perhatiannya terpusat pada stimulus yang berasal dari luar. Contohnya rangsangan pada hadirin penonton bioskop, pendengar radio, dan pemirsa televisi.
2.      Kerusuhan
merupakan tindakan agresif yang dilakukan secara keras. Kerusuhan bisa berwujud kerusuhan antar bangsa, bisa saja bersifat agamis. Apapun penyebabnya, perilaku kerumunan tetap sama saja. Suatu kelompok tidak disukai karena kelompok itu berbeda, atau karena kelompok itu mudah dijadikan kambing hitam. Mungkin juga kelompok itu dibenci karena keberhasilannya yang berlebihan dalam kompetisi.
3.      Kepanikan
Kepanikan seringkali didefinisikan sebagai suatu kondisi emosi yang diwarnai oleh keputusasaan dan ketakutan yang tidak terkendali.

C.    Perilaku Massa
Massa tidak sama dengan kerumunan. Para penonton sepak bola adalah kerumunan. Orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu melalui televisi adalah massa. Hoult mendefinisikan massa sebagai sejumlah orang yang relative berjumlah besar, tersebar dan tidak dikenal (anonim), dan yang memberikan reaksi terhadap satu atau lebih rangsangan, tetapi secara sendiri-sendiri tanpa saling memperhatikan satu sama lain.
Perilaku massa adalah bentuk perilaku massa tertentu yang dilakukan secara individual, yang tidak terorganisasi, tidak terstuktur, dan tidak terkordinasi. Perbedaan dengan perilaku kerumunan terletak pada kenyataan bahwa perilaku kerumunan jangka waktunya singkat dan bersifat episodik,  serta dilakukan oleh sejumlah orang sebagai suatu kelompok. Sedangkan perilaku massa berjangka waktu lama dan tercipta dari jumlah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh orang banyak.[5] Massa memiliki anggota yang terpisah pisah, dan anggotanya tidak terjadi kontak langsung yang berkesinambungan.



D.    Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Gerakan sosial didenifisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.[6] Gerakan sosial pada mulanya muncul dari suatu kelompok yang tidak puas terhadap keadaan, kelompok itu awalnya tidak terorganisasi dan terarah, serta tidak memiliki rencana.
Macam-macam teori gerakan sosial antara lain :
1.      Teori Psikologi. Teori psikologi menunjukkan bahwa akar dari gerakan sosial terletak pada kepribadian para pengikut gerakan sosial itu.
2.      Teori Ketidakpuasan. Teori ini berpandangan bahwa akar dari gerakan terletak pada perasaan ketidakpuasan. Orang yang merasa hidupnya nyaman dan puas kurang menaruh perhatian terhadap gerakan sosial. Terdapat banyak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan kemarahan orang-orang yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan yang kejam sampai dengan kejengkelan terendah dari orang-orang yang tidak menyukai perubahan sosial tertentu. Tanpa ada ketidakpuasan, gerakan sosialpun tak akan tercipta.
3.      Teori Ketidakmampuan Penyesuaian Diri Pribadi. Teori ini memandang gerakan sosial sebagai tempat penyaluran kegagalan pribadi. Beberapa macam orang yang ikut serta dalam gerakan sosial antara lain: orang yang merasa bosan, orang yang merasa tidak cocok dengan keadaan, orang yang seharusnya kreatif tapi tidak mampu berkreasi, orang dari golongan minoritas, orang yang merasa bersalah, orang yang tingkat kehidupannya disebabkan satu hal lain. Orang orang seperti itu mengisi kehampaan hidup mereka dengan melibatkan diri dalam kegiatan gerakan sosial.
Orang yang merasa kecewa dan gagal lebih tertarik terhadap gerakan sosial daripada orang yang puas dan senang. Orang-orang yang merasa bahwa kehidupannya sudah nyaman dan memuaskan kurang memerlukan perasaan harga diri dan keberhasilan karena mereka sudah memilikinya. Jadi orang yang dianggap gerakan sosial adalah orang yang dipandang sebagai orang yang tidak cocok dengan keadaan masyarakat.
4.      Teori Deprivasi Relatif. Menurut konsep ini, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan dan kenyataan. Orang-orang miskin beranggapan bahwa kemiskinan dan penyakit tidak diperlukan. Mereka mendambakan mobil, radio, kulkas dan barang ,enarik lainnya.    
Komponen-komponen yang harus ada dalam definisi gerakan sosial :
1.      Kolektifitas orang yang bertindak bersama.
2.      Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama
3.      Kolektifitasnya relative tersebar, namun lebh rendah derajatnya dari pada organisasi formal
4.      Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relative tinggi, namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional.[7]
Faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial adalah deprivasi ekonomi, yaitu orang yang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan dan penderitaan), misalnya kenaikan harga-harga bahan kebutuan pokok. Disamping itu ada juga karena faktor kenikmatan kemajuan ekonomi. Meskipun tingkat kepuasan meningkat namun mungkn saja kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi terjadi kesenjangan. Apabila kesenjangan itu semakin melebar melewati batas toleransi seperti krisi ekonomi, maka revolusi akan tercetus.[8]
Menurut giddens (1989 : 625) membedakan empat tipe gerakan sosial :
1.      Alternative movement, merupakan gerakan yang bertujuan merubah sebagian perilaku perorangan seperti kampanye agar tidak merokok, hubungan seksual, dll.
2.      Redemptive movement, yaiu gerakan untuk merubah pada perilaku perorangan khususnya dalam bidang agama, seperti gerakan untuk tobat dan hidup sesuai dengan jalan agama
3.      Revormative movement, yaitu gerakan untuk mengubah masyarakat dalam bidang-bdang tertentu, seperti gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup mereka, atau gerakan gender
4.      Transformative, yaitu gerakan untuk merubah masyarajat secara keseluruhan, seperti gerakan komunis untuk menciptakan kaum atau masyarakat komunis
5.      Revolusionary movement, yaitu gerakan revolusi soial yang bertujuan untuk merubah institusi dan stratifikasi masyarakat sebagai suatu transformasi menyeluruh tatanan sosial termasuk institusi pemerintah.

Tahap-tahap gerakan  sosial menurut sosiolog W.E. Gettys sebagai berikut :
1.      Tahap kegelisahan, dalam tahap ini terjadi ketidakpuasan akibat pergolakan system yangt kurang baik. Tahap ini bisa meluas dan berlansung selama beberapa tahun
2.      Tahap kegusaran, setelah perhatian dipusatkan pada kondisi-kondisi yang menimbulkan kegeisahan maka terhimpunlah sebuah kolektivitas. Kegelisahan yang muncul dalam kolektivitas ini digerakkan oleh para pemimpin.
3.      Tahap formalisasi, dalam tahap ini tidak tampak adanya struktur formal yang terorganisir yang dilengkapi dengan hierarki petugas-petugas. Salah satu tugas penting adalah menjelaskan ideology gerakan kepada anggota yang telah bersat. Sebab-sebab terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi, dan sasaran-sasaran gerakan.
4.      Tahap pelembagaan, jika gerajkan tersebut berhasil menarik banyak pengikut dan dapat memenangkan dukungan public, akhirnya akan terjad pelembagaan. Selama tahap ini, ditetapkan suatu brokrasi dan kepemimpinan yang professional yang disiplin mengganti figure-figur kharismatik sebelumnya.[9]




[1]Paul B. Horton dan C.hester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.167.
[2] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori Sosial, (Nusa Media, Bandung: 2011) hlm 272.

[3] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori Sosial, (Nusa Media, Bandung: 2011) hlm 272.
[4]Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.169
[5] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, (Erlangga, Jakarta: 1999), hlm.184.

[6]Ibid, hlm.195.
[7] Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, Dasar-Dasar Sosiologi, (Graha Ilmu : 2009), hlm. 156
[8] Hlm. 157
[9] Hlm. 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar