MASALAH-MASALAH SOSIAL DAKWAH (Studi Kasus di Singapura)
Makalah
Disusun Guna Sosiologi Dakwah
Mata Kuliah Analisis Dampak
Lingkungan
Dosen Pengampu : Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si
Raveno Indah Hikmah
Ahmad Dini Faiza Rosyadi
Ainis Sofwah Mufarrika
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN
WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Dakwah dapat dipandang
sebagai aktualisasi iman (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu
system kegiatan manusia beriman di bidang kemasyarakatan. Dakwah dilaksanakan
secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan
bertindak dari manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural
guna mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kchidupan dengan
mcnggunakan cara-cara tertentu. Dengan definisi seperti ini, dakwah merupakan paduan
dinamis antara proses normatif dan proses teknis. Paduan ini menghadirkan suatu
pandangan yang utuh tentang dakwah. Proses normatif memperlihatkan adanya
daerah nilai tertentu, yang diatasnya proses tcknis itu berlangsung sekaligus
memberikan batasan-batasan “mutlak” (tentang nilai kebenaran yang diharapkan
menuntun dan membimbing para insan dakwah. Sementara itu, proses teknis
mengisyaratkan adanya pcrubahan dari situasi ke situasilainnya yang Iebih baik.[1]
Dari pemahaman kedua proses
dan pengertian dasar yang diungkapkan di atas, memperlihatkan dengan jelas
bahwa dakwah di samping digerakkan olch nilai Ilahiah (iman) juga
bcrhubungan dengan kenyataan objektif maupun subjektif manusia. Sebagai proses
teknis, dakwah bertumpu pada pemahaman berkaitan manusia dengan lingkungannya,
sekaligus pemahaman terhadap manusia dan lingkungannya itu sendiri. Dalam
kaitannya dengan proses normatif, telah jelas kiranya bahwa isyarat Ilahiah
tentang manusia dan lingkungannya menjadi petunjuk prinsip dalam rangka memahami
manusia dan lingkungannya scbagai suatu proses tcknis. Oleh karena itu, gerakan
dakwah sccara umum mestinya dimulai denganpcmahaman nilai-nilai Islam itu
sendiri sekaligus pcmahaman terhadap manusia serta lingkungannya yang merupakan
sasaran dakwah. Dalam istilah M. Nasir di dalam Bukunya “FiqhudDakwah”mcnyebutnyasebagai“TafaqquhuFiddinTafaqquhu
fin-Nas”.[2]
II.
Rumusan Masalah
A.
Apa latar belakang timbulnya konflik sosial?
B.
Apa saja masalah sosial dakwah?
C.
Bagaimana peran dakwah dalam menyelesaikan permasalahan sosial?
D.
Bagaimana realitas dakwah dan perkembangan Islam di Singapura?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Timbulnya Konflik Sosial
Terjadinya konflik sosial di karenakan adanya sifat ego yang
dimiliki oleh manusia. Sifat ego itu mendorong manusia untuk menguasai manusia
atau kelompok manusia lainnya dalam berbagai bidang. Hal ini merupakan bukti
bahwa keinginan setiap manusia untuk berkelompok tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan biologis (makanan,minuman dan pakaian), tetapi sekaligus untuk menyalurkan sifat-sifat ego yang
dimilikinya. Mohamed A. Lahbibi dalam bukunya Ibn Khaldun sebagaimana dikutip
Marcel A. Boisard, menulis sebagai berikut ; Keperluan manusia untuk
berkelompok itu sesungguhnya berganda. Disatu pihak keinginan untuk dominasi
dan agresi yang merupakan watak bawaan dalam (diri) manusia dapat mendorongnya
kepada tindakan tanpa pikiran atau merusak
Keinginan untuk menyalurkan sifat ego yang dimiliki oleh setiap manusia
dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hal yang tak dapat dihindari, mengingat
masyarakat terbentuk dari individu-individu dengan wataknya masing-masing.
Sudah barang tentu masyarakat yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh watak
individu-individu atau anggota-anggotanya. Meski demikian, perlu dipertegas
bahwa sifat atau watak yang menonjol dari suatu masyarakat tidak selalu
berdasarkan watak atau sifat anggotanya.Sifat atau watak masyarakat yang
bersangkutan boleh jadi merupakan kumulasi dari sifat-sifat individunya, tetapi
tidak tertutup kemungkinan sifat masyarakat itu berbeda dengan sifat-sifat
individunya. Sehingga interaksi sosial antara kelompok masyarakat yang satu
dengan lainnya biasanya terlepas dan tidak menyangkut pribadi
anggota-anggotanya, termasuk pertentangan-pertentangan yang dilakukan
kelompoknya dengan kelompok yang lainnya.[3]
Unsur-unsur yang dapat menjadi penyebab timbulnya konflik sosial
adalah wanita, harta(ekonomi), politik, sosial dan budaya. Untuk yang disebut,
pertama yaitu faktor wanita, lebih menyebabkan timbulnya konflik-konflik
perorangan, meskipun biasanya dapat dirasakan pada kehidupan sosial yang lebih
luas. Bila mengamati perkembangan dewasa ini, konflik-konflik sosial yang
terjadi, lebih disebabkan oleh faktor politik,ekonomi,sosial dan budaya.
Dalam bidang politik,
konflik timbul oleh karena situasi politik yang represi atau menekan rakyat dan
memasung kebebasan umat sering menjadi instrumen munculnya kekerasan. Politik
pemerintah yang dianggap tidak adil, diskriminatif, dan menampilkan pola yang
melanggar keyakinan-keyakinan agama adalah pintu masuk sebab munculnya
kekacauan dan kekerasan. Dalam bidang ekonomi, konflik timbul oleh karena
terbatasnya persediaan apabila dibandingkan dengan jumlah konsumen. Disinilah
muncul persaingan antara kelompokkelompok perusahaan tertentu untuk menguasai
pasaran dengan memproduksi kebutuhan masyarakat dengan mutu yang baik. Dalam
bidang sosial budaya, konflik dapat menyangkut, misalnya, agama, lembaga
kemasyarakatan dan pendidikan. Masalah ras juga dapat masuk dalam salah satu
faktor konflik di bidang sosial budaya. Agama dan ras sebagai bagian dari unsur
sosial budaya sangat peka dan mudah menimbulkan konflik. Di berbagai belahan
bumi, konflik-konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh emosi keagamaan dan
ras.[4]
B. Masalah Sosial Dakwah
Dakwah di Indonesia sudah
cukup semarak, dengan berbagai media dan sarana serta beragam metode, tapi
hasilnya belum menggembirakan, baik islamisasi internal terhadap umat ijabah
(umat Islam) maupun islamisasi eksternal terhadap umat dakwah (non muslim).
Mengapa ? secara kuantitatif (berdasarkan jumlah) : kalau diperhatikan data
demografi penduduk terus bertambah tapi presentase umat Islam terus turun.
Sedangkan secara kualitatif (kualitas)
: muslim yang sadar mau mengamalkan Islam dalam kesehariannya relatif lebih
sedikit dibanding muslim pengakuan. Pada zaman sekarang ini masalah sosial yang sering muncul
di masyarakat adalah Kecenderungan Pergeseran Nilai, dalam masalah pergeseran
nilai terdapat beberapa masalah, diantaranya :
1. Individualisme
Masyarakat yang makin maju memang
cenderung menuntut kemampuan interaksi anggotanya secara individual.
Individualisme dalam makna ini bahkan di tuntut untuk dapat eksisnya seseorang
dalam masyarakat. Namun, perkembangan individualisme pada sisi lain, yaitu
kecenderungan individualistik (egoistik),
yang hanya mementingkan keuntungan (kebutuhan, keenakan, dan lain-lain) diri
sendiri saja juga merupakan efek samping yang timbul. Individualisme erat
berhubungan dengan prilaku hedonistik. Kecenderungan nilai ini amat diametral
sifatnya dengan nilai-nilai ukhuwwah, silaturrahmi,
ta’awun yang dikehendaki Islam.
2. Rasionalisme dan Materialisme
Rasionalisme dan materialisme,
akibat lanjut dari reifikasi dan objektivikasi manusia terjadinya kecenderungan pemikiran
rasionalistik dan materialistik. Penilaian atas baik buruknya yang semata-mata
disandarkan pada ukuran nalar (rasio) belaka, secara tidak disadari telah
membudaya dalam masyarakat kita, terutama masyarakat intelektual. Sementara itu
cara berpikir materialistik, penghargaan atas segala hal yang semata-mata
disandarkan pada ukuran kebendaan, dan sekaligus dijadikan tujuan kehidupan,
rupanya sudah membudaya juga dalam masyarakat, terutama golongan menengah dan
atas serta masyarakat perkotaan. Kecenderungan tersebut pada gilirannya akan
menumbuhkan paham-paham rasionalisme dan materialisme.
3. Sekularisme
Cara berpikir sekularistik akan melahirkan pemikiran yang spatialistik (pengkotak-kotakan) mengenai kehidupan manusia, dan
menyudutkan agama sebagai hanya valid pada aspek spiritual saja. Tanpa
mengabaikan yang lain, rupanya kecenderungan cara berpikir sekularistik dan
paham sekularisme ini merupakan ancaman yg cukup serius bagi kehidupan religius
umat dan bangsa Indonesia. Sekularisme memang cenderung untuk meniadakan peran
agama, sekalipun ada kemungkinan bahwa agama diberi tempat, atau diberi kotak,
yaitu berupa proses spatialisasi.
4. Nativisme
Nativisme (spiritualisme-nativistik) ialah makin gersangnya aspek
spiritualitas manusia. Dalam masyarakat yang padat teknologi dan informasi
memang aspek spiritual manusia tidak tersantuni. Karena pada kodratnya manusia
mempunyai kehidupan spiritual yang membutuhkan santunan. Fenomena di negara
Barat dan kecenderungan pertuyulan, mistisme dan sejenisnya adalah contoh
konkret reaksi spiritualisme-nativistik tersebut.[5]
C. Peran Dakwah dalam Menyelesaikan Permasalahan Sosial
Peranan dakwah dalam menyelesaikan
problematika yang terjadi dalam masyarakat sosial adalah sebagai berikut :
1. Humanisasi, yang berarti dakwah harus dapat memberikan
konstribusi terhadap nilai-nilai manusiawi dengan selalu memberikan dukungan
untuk selalu berbuat yang terbaik bagi lingkungannya, yang pada gilirannya akan
menjelmakan struktur sosio-kultural yang sehat dan dinamis serta sejahtera.
2. Liberasi, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
rangka membebaskan manusia dari keterbelengguan berpikir, kesesatan akidah,
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan seperangkat musuh manusia yang akan
menggiring pada nilai-nilai negatif dan struktur sosio-kultural yang kacau.
Untuk mengantisipasi trend masyarakat sekarang ini harus dapat
mempersiapkan materi-materi dakwah yang lebih mengarah pada antisipasi kecenderungan-kecenderungan masyarakat. Oleh karena
itu, maka seluruh komponen dan segenap aspek yang menentukan atas keberhasilan
dakwah harus ditata secara professional dan disesuaikan dengan kondisi mad’u
agar dapat menghasilkan kemasan dakwah yang benar-benar mampu memperbaiki dan
maningkatkan semangat dan kesadaran yang tulus dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai ajaran Islam.[6]
D. REALITA ISLAM DAN DAKWAH DI SINGAPURA
a. Minoritas
Muslim di Tengah Kehidupan Plural & Sekular
Muslim Singapura–secara politis–tergolong minoritas yang hidup di
tengah masyarakat pluraldan multi-kultural (Suzaina Kadir, 2004). Sejak
kolonialisasi Inggris, keragaman etnis, budaya, dan agama semakin tampak jelas
di negara ini sebagai konsekuensi dari lajunya arus migrasi terutama dari etnis
Cina (Hefner, 2001). Selain itu, arus modernisasi dan pembangunan yang begitu
pesat serta ekonomi global modern yang berlangsung di negara ini memerlukan
tenaga kerja yang handal dan profesional di bidangnya. Hal ini menjadi salah
satu faktor penyebab lajunya arus migrasi tenaga kerja dari berbagai belahan
dunia ke negara ini, sehingga semakin menambah keragaman etnis, budaya, dan
agama (pluralitas dan multi-kultural) warga Singapura sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut:
Persentase jumlah penduduk Singapura berdasarkan etnis: 1.
Cina 74.1%, 2. Melayu 13.4%, 3. India 9.2%, 4.
Pakistan, Arab, dll. 3.3%. Jumlah penduduk
Singapura berdasarkan pemelukagama: 1. Budha 33%, 2.
Kristen 18%, 3. Tanpa agama 17%, 4. Islam 15%, 5.
Taois & KongHu Cu 11%, 6. Hindu 5.1%, 7.
Lain-lain 0.9% (Sumber: Singapore Department of Statistics, Pers Release: Census of
population 2010: Statistical Release on Demographic Characteristics, Education,
Language and Religion.)
Dari data diatas
terlihat bahwa Muslim hanya 15 persen dari seluruh jumlah penduduk, di mana
sekitar 13,4 persen di antaranya adalah etnis Melayu, dan lain-lain sisanya.
Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di
Negara Singapura yang Sekular & Multikultural
Singapura dikenal sebagai negara sekular, di mana negara menjadi
netral dalam permasalahanagama; tidak mendukung orang beragama maupun tidak. Enyedi,
2003). Agama menjadi urusan pribadi, pemerintah tidak memiliki hak dan
kewajiban untuk mengatur agama setiap individu. Sekularisme Singapura ini
ditegaskan oleh Kamaludeen, Here is a society that is determined to be a
secular state… Hal yang sama juga disampaikan oleh George Yeo, menteri
informasi, komunikasi dan seni: “Singapore ‘s government is secular, but it is
certainly not atheistic. Pandangan ini menggambarkan tentang paham sekularisme strategis
pemerintah, yang menegaskan bahwa sekular bukan berarti atheis (tidak bertuhan)
karena faktanya lebih dari 80% penduduk Singapura menganut agama tertentu.Paham
sekularisme pemerintah berimplikasi pada beberapa kebijakan. Misalnya, suara
azan yang berfungsi sebagai pengingat dan pemanggilMuslim untuk mendirikan
shalat, tidak bolehdikumandangkan melalui loud speaker. Alasannya adalah agar
non-Muslim yang mayoritas tidak terganggu. Contoh lain dapat ditunjukkan dari
pelarangan memakai jilbab bagi siswi Muslim di sekolah-sekolah pemerintah. Seperti ditegaskan oleh, PM, Lee Hsien Loong, kepada warga Muslim;
“Hijab was not part of the school uniforms and effectively banned in institutions
of learning. Saat diwawancarai oleh Berita Harian, Malay Newspaper, putra Lee
Kuan Yew itu kembali menegaskan bahwa pelarangan jilbab dimaksudkan untuk
memelihara integrasi dan keharmonisan sosial. Jilbab dipandang sebagai simbol
agama tertentu. Mengizinkan Muslimah memakai jilbab di sekolah akan mengganggu
integrasi nasional, karena akan memunculkan persoalan di kalangan siswa
lainnya. Larangan yang sama juga dulu pernah diberlakukan kepada para pegawai
Muslimah saat mereka bekerja di lembaga-lembaga pemerintah seperti rumah sakit,
klinik dan tempat umum lain.
Seperti di negara-negara sekular lainnya, kebijakan pemerintah
relatif kurang memperhatikan implikasinya pada pengamalan dan penegakan syiar
Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan terkait penataan tempat tinggal
(New Strait Settelement) (Helmiati, 2011: 212; Hooker, 1998: 170). Karenalajunya
arus urbanisasi dan migrasi global, pemerintah telah membangun rumah susun (
dan mewajibkan seluruh rakyat, termasuk warga Muslim untuk tinggal di perumahan
yang telah disediakan pemerintah, dengan mengintegrasikan secara proporsional
warga yang terdiri dari etnik Cina, India, Melayu, dan sebagainya. Kebijakan
ini punya dampak yang besar, khususnya bagi Melayu-Muslim. Mereka yang semula
tinggal di kampung tradisional yang homogen dan dapat menikmati kebersamaan
dalam menjalankan agama, sekarang jadi tinggal terpencar ke tempat tinggal
modern yang terdiri dari berbagai etnik dan agama. Mereka tidak lagi homogen
tetapi mesti membaur dengan etnik dan pemeluk agama lainnya. Posisi minoritas
kaum Muslim di apartemen-apartemen yang disediakan pemerintah tersebut tidak
mendorong terjadinya perhimpunan-perhimpunan keagamaan seperti ketika dulu
mereka hidup secara homogen. Mereka yang terbiasa melaksanakan ajaran agama
secara berjama’ah, saling tolong dan dapat saling mempererat silaturrahmi,
sekarang dengan kebijakan itu menjadi terpencar dan terpecah dari jama’ah yang
dulu terbentuk secara alami. Konsekuensinya syiar Islam terasa makin lemah.
b. Negara
Singapura yang Maju dan Modern
Dalam sejarahnya, terutama pada abad ke-19 M. Singapura pernah
menjadi satu di antara pusat Islam paling penting di Asia Tenggara. Hal itu
disebabkan oleh keunggulannya sebagai pintu masuk bagi perdagangan
internasional antara Eropa, Timur Tengah, Australia, dan Timur Jauh (Weyland:
219-254). Selain sebagai transit perdagangan, posisinya yang strategis juga
telah memungkinkannya menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, baik
pada masa kesultanan Malaka (sebelum kedatangan kolonial Eropa), masa kolonial,
sampai pada awal abad ke-20 (Azyumardi Azra, 1994: 203, 271). Peran penting
tersebut perlahan-lahan berakhir ketika kekuasaan kolonial semakin kokoh, dan
terus berlanjut ketika pada akhirnya Singapura memisahkan diri dari negara
federasi Malaysia dan menjadi negararepublik yang merdeka pada tahun 1965; umatIslam
menjadi minoritas, selanjutnya komunitasHelmiati: Dinamika Islam Singapura:
Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular &
MultikulturalMuslim yang sebagian besar adalah bangsa Melayu menempati posisi
kelas dua di bawah etnis Cina (Suriani Suratman, 2004: 4). Saat ini Singapura
menjadi salah satu negara maju di dunia (Singapore Economic Development Board,
2012) dengan pertumbuhan ekonomi yang amat pesat dan jaringanperdagangan yang
luas serta memiliki kekuatan militer, pertahanan dan intelijen yang kuat. Dalam
bidang ekonomi, negara ini dinobatkan oleh World Bank (2012) sebagai Bussiness
environment.
Negara ini dikenal sebagai
salah satu negara dengan kualitas hidup penduduk terbaik di Asia, dan
pendapatan per kapita tertinggi di dunia yang menyamai negara-negara kaya di
Eropa. The World Economic Forum (2012) yang berkedudukan di Swiss
menobatkan Singapura sebagai negara kedua setelah Switzerland dalam kompetisi
ekonomi tertinggi didunia dengan keunggulan-keunggulannya di berbagai bidang.
Pujian juga datang dari Economic IntelligenceUnit yang menegaskan Singapura
sebagai satu dari sepuluh negara dunia yang memegang kendali bisnis global (Rizki
Ridyasmara, 2005: 37). Pelabuhannya menjadi pelabuhan tersibuk di dunia.
Demikian juga bandar udaranya yang mampu melayani sekurangnya 67 maskapai
penerbangan komersial. Sektor pendidikannya dikembangkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan tenaga kerja yang ahli sesuai kebutuhan pasar ekonomi global. Seorang
warga Singapura yang sempat penulis wawancarai mengatakan:
“Mereka(baca:pemerintah) sangat tahu apa yang akan mereka raih sehingga tidak
segan-segan merekrut orang-orang yang cerdas dari berbagai negara termasuk
Indonesia. Anak-anak cerdas itu disekolahkan dan diberi beasiswa penuh dengan
catatan bekerja untuk Singapura setelah menyelesaikan studinya. Gaji yangtinggi
dengan segala fasilitas kehidupan yang mapan, telah membuat banyak orang cerdas
mengabdi pada negara kecil yang menjadi pusat begitu banyak industri dunia
tersebut”.Karena itu tak mengherankan bila Singapura termasuk sepuluh besar
negara yang memiliki tenaga kerja yang berkualitas di Asia (Top 10 in Asia for
best skilled labour) (IMD, 2013).
c. Pengamalan
dan Penegakan Syi’ar Islam di Tengah Pluralitas
Masyarakat plural dan multikultural ditandai oleh keanekaragaman
kelompok sosial dalam masyarakat. Perbedaan etnis, agama, pola pikir, warna
kulit, dan bahasa adalah contoh-contoh keanekaragaman kelompok sosial dalam
masyarakat multikultural. Seperti dikemukakan oleh Furnival (1994), plural
sosiety is a society that comprise two or more elements or social orders which
live side by side, yet without mingling in one political unit”. Kondisi semacam
ini pula yang terdapat di negara Singapura sebagai dampak migrasi global
(Tourres, 2003).Tak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman dan perbedaan–termasuk
perbedaan agama–menjadi salah satu pembatas antar warga dalam kehidupan sosial.
Sepanjang sejarah, agama dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat
dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama. Namun di sisi masyarakat
beragama bila tidak dapat mengelolanya dengan baik. Untuk itu, menurut
Azyumardi Azra: “kehidupan multikultural memang mengharuskan adanya tolak
angsur-toleransi dan kemampuan adaptasi dan integrasi dengan seluruh lapisan
masyarakat tanpa mengurangi makna agama dan tradisi masyarakat tertentu.”Sikap
seperti inilah yang dapat menciptakan harmoni dan kedamaian.
Secara historis, kehidupan multikultural bukanlah sesuatu yang baru
bagi kaum Muslim. Sejak masa awal Islam dan lebih khusus lagi pada masa pasca
al-Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan kaum Muslim yang begitu cepat di berbagai
wilayah dunia sekaligus merupakan pertemuan yang melibatkanberkat kehadiran
Islam dan kaum Muslim juga kian multikultural.
Realitas ini terlihat kian jelas ketika kekuasaan politik yang melintasi
berbagai wilayah budaya berada di tangan kaum Muslimin sejak Dinasti Umaiyah,
Abbasiyah di Baghdad dan Andalusia, Usmani, Moghul (Amin, 1975; Hasan, t.th.)
dan seterusnya sampai ke Asia Tenggara.Secara teologis, agama senantiasa
mengajarkan toleransi, keadilan, perdamaian dan saling menghargai
(justice, peace and mutual respect). Ini adalah etika universal yang merupakan
bagian darigagasan multikulturalisme. Etika tersebut merupakan nilai bersama,
yang tidak hanya dimiliki oleh bangsa tertentu, tetapi juga merupakan nilai yang
juga diakui dunia.Pembangunan yang dilakukan Singapura selama 48 tahun menuju
Singapura yang maju seperti saat ini memberikan perubahan besar pada gaya hidupmasyarakat,
termasuk kehidupan beragama. Karena itu, Muslim perlu memiliki kemampuan
beradaptasi dalam menghadapi perubahan tersebut.Pelaksanaan syiar Islam dan
dinamikanya di Singapura tak dapat dipisahkan dari fungsi dan peran penting
Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) sebagai lembaga tertinggi pemerintah untuk
urusan agama Islam. Institusi yang setingkat kementerian agama di Indonesia ini
didirikan sejak tanggal 1 Juli 1968 dan memiliki wewenang dan tanggung jawabatas
seluruh aktivitas keagamaan yang berkaitan dengan urusan peribadahan, hukum,
perekonomian, kemasyarakatan, pendidikan, dan kebudayaan Islam. Lebih jelasnya,
MUIS mempunyai tugas dan fungsi utama sebagaimana berikut:
1. Memberi saran kepada presiden dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan agama Islam.
2. Mengurusi masalah yang berkaitan dengan agama Islam dan kaum Muslimin,
termasuk urusan haji
3. Mengelola wakaf dan dana kaum Muslimin berdasarkan undang-undang
dan amanah.
4. Mengelola pengumpulan zakat, infak, dan sedekah untuk mendukung
dan mensyiarkan agama Islam, atau untuk kepentingan umat Islam.
5. Mengelola semua masjid dan madrasah di Singapura.
Dalam praktiknya, badan resmi milik negara ini melakukan pengawasan
terhadap masjid-masjid, memiliki wewenang terhadap kurikulum pendidikan agama,
pernikahan, zakat, kurban, dan lain sebagainya. MUIS juga mengawasi khutbah
Jumat di setiap masjid untuk memastikan isi khutbah sesuai dengan konsep negara
Singapura yang majemuk. Para penceramah yang datang dari luar pun diwajibkan mengurus
izin ceramah kepada MUIS, sebelum mereka bisa berceramah di Singapura. MUIS
yang menempati gedung megah di 273 Braddel Road, tepatnya di komplek Islamic
CentreSingapura juga mengeluarkan fatwa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari umat Islam Singapura. Selain itu, MUIS juga concern
terhadap kehalalan sebuah produk atau cenderung sekular, masalah kehalalan
suatu produk menjadi perhatian utama umat Islam Singapura. secara formal telah
dimulai sejak tahun 1978, lebih dahulu dibanding
dengan Indonesia yang mayoritas Muslim. MUIS sendiri telah mengeluarkan lebih
dari produk makanan untuk melayani warga Singapura yang memeluk Islam.Di tengah
sistem kehidupan sekular yang diterapkan pemerintah setempat, Muslim Singapura terus
berpacu meningkatkan kualitas diri, agar mampuberkompetisi dan menyesuaikan
diri dengan lajunya kemajuan teknologi informasi dan perubahan zaman. Sebagai
contoh, meski pendidikan formal agama Islam di Singapura–secara umum–mengalami
kemunduran, namun perhatian umum terhadap pendidikan Islam non-formal mengalami
peningkatan. Banyak orang tua yang mengirimkan anaknya ke sekolah pemerintah atau
sekular untuk membekalinya dengan sains dan teknologi, namun tetap membekalinya
dengan pengetahuan agama melalui pendidikan non-formal.Pendidikan non-formal
dapat diperoleh di masjid. Masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga
difungsikan sebagai tempat belajar agama, pengembangan syiar Islam dan tempat
pertemuan.Masjid Agung yang menampung sampai 2000 jamaah terletak di pusat kota
Singapura, misalnya, menyelenggarakan pendidikan tingkat kanak-kanak,
kursus/les untuk siswa kelas dasar dan menengah, kelas agama, bimbingan
keluarga, kelas leadershipdan pengembangan masyarakat, serta pengajaran bahasa
Arab. Singkatnya, kondisi sosio kultural dan sistem politiknya telah mendorong Muslim Singapura untuk memaksimalkan
fungsi institusi pendidikan non-formal seperti masjid, madrasah, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menegakkan syiar Islam, mengembangkan pendidikan
Islam, dan melestarikan peradaban Islam.
Dewasa ini, masjid merupakan sebuah institusi strategis di
Singapura. Masjid memiliki program terencana yang dibina oleh Majelis Ugama
Islam Singapura (MUIS). Tidak seperti yang dipahami selama ini, bahwa masjid
hanya sebatas tempat ibadah. Di Singapura,
masjid benar-benar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah, yaitu sebagai pusat
kegiatan Islam yang diarahkan tidak hanya untuk aktivitas ibadah seperti
shalat, baca al-Qur’an, dan wirid pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai
sentral pendidikan dan pembangunan sosial umat.
Masjid di Singapura pada umumnya tidak hanya memiliki ruang tempat shalat saja,
tetapi dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk keperluan jemaah. Di ruas
kanan dan kiri setiap masjid terdapat ruangan-ruangan kelas untuk belajar agama
dan kursus keterampilan. Selain itu, juga terdapat fasilitas lainnya seperti ruang
kantor administrasi atau sekretariat pengelolaan masjid, ruang sidang, ruang serba
guna atau auditorium, ruang kelas untuk belajar, perpustakaan, kamar jenazah
serta ruang untuk aktivitas dan program pembangunan sosial umat (Mohamed Ali
Atan, 2005: 2; MUIS, 1986)). Fungsi masjid semacam ini sesungguhnya telah berawal
sejak zaman Rasulullah Saw. di mana masjid memiliki multi fungsi, tidak saja
sebagai tempatibadah tetapi juga sebagai markas untuk melakukan segala
perancangan untuk kemajuan Islam dan umatnya.Fungsi masjid lainnya adalah
sebagai wadah untuk diskusi berbagai masalah kontemporer dan keislaman. Diskusi
ini biasanya diadakan oleh organisasi remaja di setiap masjid. Dewan pengurus setiap
masjid juga menerbitkan media (majalah dan buletin) sebagai media dakwah dan
ukhuwah sesama Muslim. Berbeda dengan di negara lainnya, para pengurus masjid
digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif layaknya perkantoran
modern.Kebanyakan masjid memiliki aktivitas, kreativitas, dan pandangan jauh ke
depan dalam memberikan layanan terhadap kebutuhan umat (Mohamed Ali Atan, 2005:
5). Masjid di Singapura telah memberikan banyak sumbangan dalam memenuhi
keperluan sosial masyarakat Muslim di sana, terutama dalam membentuk kehidupan
beragama umat. Setiap Muslim mendapat pembangunan diri yang sesuai dengan
golonganusia mereka. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga tantangan
yang dihadapi, baik oleh pihak masjid maupun setiap anggota masyarakat dalam
membentuk jati diri Muslim (Anon, 2009: 4).
Institusi masjid menjadi “jantung dan nadi” masyarakat Muslim
Singapura. Karena itu, masjid dibangun di setiap komplek perumahan untuk memudahkan
mereka menangani isu dan pembangunan sosio-agama umat. Saat ini di Singapura
terdapat lebih dari 70 masjid. Selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan
agama, MUIS memiliki wewenang penuh terhadap manajemen institusi masjid, namun demikian,
MUIS tidak turut campur secara nyata dalam aktivitas yang diselenggarakan oleh
pihak masjid, melainkan hanya memantau aspek manajemen dan hal-hal penting saja
(MUIS, 2005a: 14). Lembaga pendidikan Islam (madrasah) dikelola secara modern
dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak. Dari seluruh
madrasahIslam (sebanyak enam buah yang seluruhnya di bawah naungan MUIS),
sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Keenam madrasah itu adalah Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, Madrasah Al-Maarif
Al-Islamiah, Madrasah Alsagoff Al-Islamiah, Madrasah Aljunied Al-Islamiah,
Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan Madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah. Waktu
penyelenggaraan belajar mengajar dimulai dari pukul 08.00 hingga 14.00. Lama
waktu ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum dan non-madrasah. Agar tidak
ketinggalan dengan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun
laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio
converence.
Selain dilengkapi fasilitas internet, setiap madrasah juga
mempunyai server tersendiri bagi pengembangan pendidikan modern. ”Murid
dibiasakan dengan teknologiterutama teknologi internet. Setiap hari, mereka
diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet,” jelas Mokson
Mahori, Lc, guru di madrasah Al-Junied Al- Islamiyah. Sayangnya, pendidikan
Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah (SMU). Untuk perguruan
tingginya hingga kini belum ada. Manajemen yang sama juga diterapkan dalam
pengelolaan masjid.
Keberadaan Lembaga Swadaya MasyarakatIslam
(LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan komunitas muslim negeri
itu potret yang maju dan progresif.
Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riilmasyarakat
Muslim. Saat ini, tidak kurang dari sepuluh LSM, di antaranya adalah:
Association of Muslim Professional(AMP), Kesatuan Guru-guru Melayu Singapura
(KGMS), Muslim Converts Association (Darul Arqam), Muhammadiyah, Muslim
Missionary Society Singapore (Jamiyah), Council for the Development of
Singapore Muslim Community (MENDAKI), National University Singapore (NUS)
Muslim Society, Perdaus (Persatuan Dai dan Ulama Singapura), Singapore
Religious Teachers Association (Pergas), Mercy Relief(Center for Humanitarian),
International Assembly of Islamic Studies (IMPIAN), dan Lembaga Pendidikan
al-Qur’an Singapura (LPQS).
Seluruh lembaga dan sistem manajemen profesional ini ditujukan
bukan saja pada terbentuknya kualitas Muslim dan komunitas Islam yang maju,
moderat dan progresif, tetapi juga potret yang mampu berkompetisi dan
meningkatkan citra Islam di tengah pemandangan global yang kurang baik saat
ini. Model demikian inilah yang kini terus diperjuangkan agar Islam yang rahmat
menjelma dalam kehidupan masyarakat Singapura. Profesionalisme dalam
Pengelolaan ZakatDimensi perkembangan Islam lainnya yang menarik adalah terkait
profesionalisme dalam pengelolaan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf pemberdayaan
potensi dan peningkatan kualitas umat bukan hanya terlihat pada pengelolaan
pendidikan (madrasah), masjid, dan lembaga-lembaga swadaya Islam non-pemerintah
(NGO).
Profesionalisme tersebut juga tampak jelas dalam pengelolaan Divisi
Pembangunan Agama dan Penelitian, Majlis bagi pemerataan dan kesejahteraan umat
Islam. ”Pemberdayaan amanat agama ini tidak akan mencapai target maksimal jika
tidak dikelola secara MUIS sendiri sebagai lembaga tertinggi pemerintah untuk
urusan agama Islam bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam pengelolaan
pelaksanaannya. Sistem manajemen profesional MUIS ini telah diterapkan lebih
dari 15 tahun terakhir. manual, dengan cara pergi ke tempat penyaluran atau
lembaga yang dipercaya, tapi sejak dua tahun terakhir pembayarannya dapat
dilakukan melalui sistem on-line, seperti manajemen bank. Dengan cara demikian
akan diketahui seluruh dana yang terhimpun saat itu juga. Sementara untukwakaf,
telah 10 tahun lebih dikelola dengan sistem
wakaf produktif. Harta benda dari wakaf dikelola dengan asas
manfaat, bukan lagi untuk pembangunan masjid atau kuburan, sebagaimana di
Indonesia. Misalnya, dana wakaf dipakai untuk pembangunan real estate atau supermarket
atau usaha lainnya yang menguntungkan. Keuntungannya kemudian dipakai lagi
untuk pengembangan Islam. Berkaitan setiap tahunnya terkumpul berkisar 18-20
juta dolar Singapura (sekitar 10 juta dolar AS). Khusus pegawai di MUIS, digaji
dari dana zakat tersebut. Sementara itu, dana bagi pengembangan masjiddan
madrasah, ada kasnya sendiri. Tidak lagi madrasah ada kotak bernama ”Dana
Madrasah”. Sedangkan dana masjid diperoleh dari sumbangan kaum Muslim, khususnya
kotak Jumat. Meski juga
d. Menjaga
Kohesi Sosial di Tengah Pluralitas Agama
Muslim Singapura secara politis tergolong minoritas yang hidup di
tengah masyarakat plural, yang terdiri dari berbagai macam etnis, agama, dan budaya
(Suzaina Kadir, 2004). Keanekaragaman pada kelompok masyarakat bila tidak mampu
menyikapi perbedaan tersebut dengan baik. Seperti dikemukakanHelmiati: Dinamika
Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang
Sekular & Multikultural. Perjumpaan
antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling sering tak bisa
dihindari. Tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan-perbedaan ini–termasuk
perbedaan agama–menjadi salah satu pembatas antar warga dalam kehidupan sosial.
Sebagai contoh sederhana, Muslim misalnya tidak akan makan di restoran China
yang non-Muslim karena khawatir terkontaminasi oleh babi dan zat-zat lain yang
haram dalam pandangan Islam. Namun demikian, dalam konteks Singapura, Muslim
yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang sekular dan multikultural, sampai
tahap-tahap tertentu nampak mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan seluruh
lapisan masyarakat.
Salah satu contoh menarik adalah sikap Muslim pada acara jamuan makan
dengan rekan-rekan sewarganya yang non-Muslim. Mengingat jumlah Muslim hanya
15% dari seluruh jumlah penduduk, maka jamuan makan bersama dengan rekan-rekannya
yang non-Muslim menjadi sesuatu yang sulit dielakkan. Hal semacam ini
bisa jadi menempatkan seorang Muslim pada kondisi yang rumit dan dilematis,
terutama bila nilai-nilai dan ajaran agama Islam diperhadapkan dengan nilai-nilai
dan praktik kosmopolitan. Mengingat Islam mengatur tentang makanan yang halal
dan haram untuk dikonsumsi seperti khamar, anjing, babi, darah, dan bangkai
yang diharamkan karena zatnya, juga ada makanan yang diharamkan karena suatu
sebab yang bukan berkaitan dengan zatnya seperti daging hewan yang disembelih tanpa
menyebut nama Allah. Maka dalam kondisi semacam itu, pertanyaannya adalah
apakah Muslim akan menghindari jamuan makan antar budaya tersebut, dan sikap
apa yang mereka ambil dalam kondisi semacam itu? atau mereka mengatur strategi
sehingga dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi di mana mereka berada
tanpa melanggar ajaran agama?Berdasarkan hasil penelitian yang mewawancarai 20
orang warga Muslim yang dipandang saleh dan taat menjalankan agama, maka secara
umum jawaban mereka adalah bukan menghindari jamuan makan tersebut dengan bersikap
ekslusif dan menghindari interaksi antar budaya, melainkan mencari dan mengatur
strategi mempertahankan diri untuk tetap patuh pada ajaran agama sementara
tetap begabung bersama mereka dalam interaksi sosial (Kamaludeen Mohamed Nasir,
2008). Ini menunjukkan bahwa mereka nampak memiliki visi pluralisme dan wawasan
multikultural yang ditandai dengan kesadaran dan pengakuan serta sikap menerima
akan adanya keragaman.
Hal ini terindikasi dari sikap dan pemikiran yang memberi tempat
bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, adanya sikap toleran, saling
menghargai, saling membantu, dan kemampuan bekerjasama dengan sesama. Dalam contoh
lain di mana azan tidakdiperbolehkan menggunakan loud speaker misalnya, sikap
mereka adalah menerima kebijakan tersebut dan sebagai solusinya azan
diperdengarkan melalui radio. Penerimaan semacam ini merupakan wujud nyata dari
sikap toleran mengingat adanya “the other” yang terganggu karena suara azan
tersebut. Selain itu, sikap toleran dan menghargai dari warga Muslim juga
terlihat pada penerimaan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang memindahkan
komunitas Muslim–yang dulu tinggal di satu kampung sehinggamemungkinkan mereka
untuk menjalankan agama secara berjamaah–ke rumah-rumah susun yang di situ terintegrasi
dan terasilimilasi dengan non-Muslim. Sikap penerimaan mereka juga terlihat
terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memasukkan pelajaran agama dalam
kurikulum sekolah. Solusi yang diambil kemudian adalah dengan mengoptimalkan
dan mengintensifkan pembelajaran agama di masjid, madrasah, dan melalui LSM.
Sikap semacam ini adalah wujud nyata dari visi pluralisme dan multikulturalisme.
Sikap ini bukanlah berarti bahwa mereka
mengalah dan lemah, tetapi dipandang sebagai artikulasi dari kesalehan dan
pengamalan Islam.
Seperti dikemukakan oleh Hussin Mutalib:…being Islamic indeeds also
implies being loyal and patriotic to the country, and progressive and inclusive
in dealing with fellow citizens. Muslim know very well that their religion
requires them to live a live of moderation (ummatan wasathan), to confront all challenges
and problems with hard work and wisdom (hikmah), to look to the future with
optimism –and leave the rest to Him (tawakkal), hoping for a happy ending
(husnul khatimah).
e. Harmony
Centre Masjid An-Nahdhah
Masjid An-Nahdhah, terdapat
Harmony Centre yang digagas oleh MUIS untuk mempromosikan dan mendorong terwujudnya
masyarakat Singapura yangsaling memahami dan menghormati keanekaragaman ras dan
agama mereka. Para pengunjung disuguhi rangkaian informasi tertulis, bergambar,
dan audio-visual tentang Islam dari berbagai aspek. Di Pusat Harmoni ini, pokok-pokok
ajaran, sejarah, maupun kontribusi Islam dan penganutnya pada peradaban dunia
dapat diketahui hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
Pandangan sebagaimana dikemukakan di atas membuat
Islam di Singapura menemukan identitasnya (bentuk pengamalan agama) dan
formulasi respon terhadap tantangan modernitas dan sekularitas negara sesuai
dengan konteks lokalnya. Formulasi respon tersebut secara implisit tergambar
pada etos sepuluh ciri masyarakat Islam cemerlang yang mereka rumuskan
sebagaimana berikut ini:
1. Berpegang teguh pada prinsip Islam dan dapat menyesuaikan diri
dengan konteks yang berubah.
2. Menghayati peradaban dan sejarah Islam dan berupaya memahami
isu-isu kontemporer.
3. Menghargai peradaban lain, percaya diri untuk berinteraksi dan
bersedia belajar dari masyarakat lain.
4. Mempunyai moral yang tinggi dan sifat kerohanian yang utuh serta
mampu mengatasi tantangan kehidupan masyarakat modern.
5. Progresif, mengamalkan Islam lebih sekadar ritual/bentuk dan dapat
menyesuaikan diri dengan arus modernisasi.
6. Dapat menyesuaikan diri sebagai golongan yang memberi sumbangan
dalam masyarakat multikultural dan negara secular
7. Tidak menyisihkan diri dan menerima kehidupan plural tanpa
mengabaikan prinsip dan nilai.
8. Percaya bahwa Muslim yang baik adalah rakyat yang baik.
9. Membawa kesejahteraan kepada semua dan menggalakkan nilai dan
prinsip universal.
10. Islam dijadikan sebagai sebuah penawar dari prosesdisorientasi
dan dislokasi serta sebagai saluran arus balik dari semua bentuk gaya hidup dan
ideologi sekular di era modern.
Islam bertahan dan selalu hadir dalam berbagai bentuk masyarakat
dan gelombang perubahan sosial. Islam bisa hadir dalam wujudnya yang paling
konservatif dan tradisonal sekaligus yang paling modern dan Dalam konteks
modernisasi, Islam telah ber-peran penting sebagai “spiritual bodyguard” atas kepahitan-kepahitan
pembangunan dan alienasi masyarakat modern. Dengan
kata lain, ketimbang menggiring pada proses sekularisasi, modernisasi justru
telah menjadi fasilitator dan pendorong membuihnya busa-busa spiritual
masyarakat Islam termasuk di Singapura.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terjadinya konflik sosial di
karenakan adanya sifat ego yang dimiliki oleh manusia. Sifat ego itu mendorong
manusia untuk menguasai manusia atau kelompok manusia lainnya dalam berbagai
bidang. Hal ini merupakan bukti bahwa keinginan setiap manusia untuk berkelompok
tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis (makanan,minuman dan
pakaian), tetapi
sekaligus untuk menyalurkan sifat-sifat ego yang dimilikinya. Unsur-unsur yang dapat menjadi
penyebab timbulnya konflik sosial adalah wanita, harta(ekonomi), politik,
sosial dan budaya. Untuk yang disebut, pertama yaitu faktor wanita, lebih
menyebabkan timbulnya konflik-konflik perorangan, meskipun biasanya dapat
dirasakan pada kehidupan sosial yang lebih luas.
Pada zaman sekarang ini masalah sosial yang sering muncul di
masyarakat adalah Kecenderungan Pergeseran Nilai, dalam masalah pergeseran
nilai terdapat beberapa masalah, diantaranya : individualism, rasionalisme dan
matrialisme, skularisme, nativisme.
Peranan dakwah dalam menyelesaikan problematika yang terjadi
dalam masyarakat sosial adalah sebagai berikut : Humanisasi, yang berarti dakwah
harus dapat memberikan konstribusi terhadap nilai-nilai manusiawi dengan selalu
memberikan dukungan untuk selalu berbuat yang terbaik bagi lingkungannya, yang
pada gilirannya akan menjelmakan struktur sosio-kultural yang sehat dan dinamis
serta sejahtera.
Liberasi, yaitu serangkaian kegiatan
yang dilakukan dalam rangka membebaskan manusia dari keterbelengguan berpikir,
kesesatan akidah, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan seperangkat musuh
manusia yang akan menggiring pada nilai-nilai negatif dan struktur
sosio-kultural yang kacau.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat,
kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran
serta bimbingan dari Bapak/Ibu dosen dan teman-teman sangat kami harapkan demi
kebaikan makalah ini untuk selanjutnya. Atas kerjasamanya dan partipasinya,
kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Amrullah,Ahmad. 1983, Dakwah Islam
dan Perubahan Sosial Yogyakarta: Prisma Duta.
Nashir, M. Fiqhud
Dakwah, 1977 Jakarta: Dewan
DakwahIslam Indonesia.
Boisard, L’Humanisme
De L’Islam, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan judul Humanisme
Dalam Islam,1980. Jakarta:Bulan Bintang
Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar. 1986, Jakarta:Rajawali Perss.
Munir Amin, Samsul, Ilmu Dakwah, 2009 Jakarta : AMZAH.
Helmiati,
Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara
Singapura yang Sekular&Multikultural. Toleransi, Vol. 5 No. 2
Juli-Desember 2013.
[3] Boisard,
L’Humanisme De L’Islam, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan
judul
Humanisme Dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1980), hlm 159
Humanisme Dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1980), hlm 159
[4] Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar. (Jakarta:Rajawali Perss,1986),hlm.102.
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : AMZAH, 2009),
hal. 293-294
[7]Helmiati, Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas
Muslim di Negara Singapura yang Sekular&Multikultural. Toleransi, Vol.
5 No. 2 Juli-Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar